Dr Ron Waksman, salah seorang pakar yang
terlibat dalam riset, menjelaskan bahwa pernikahan yang berjalan dengan
baik dapat berperan mengurangi risiko serangan jantung, akan tetapi
pernikahan yang terbilang buruk justru berkaitan dengan tingginya
tingkat stres yang berujung pada peningkatkan risiko serangan jantung.
Para pakar melakukan analisis catatan
dari 11.216 responden pasien jantung yang dikumpulkan selama delapan
belas tahun melalui kontak telepon dan kunjungan kantor. Rata-rata
responden berusia 64 tahun. 55 % responden berstatus menikah, sementara
45 % berstatus belum pernah menikah. Hasilnya, kelompok yang belum
menikah cenderung lebih berisiko terkena penyakit jantung.
Penelitian yang dimuar dalam jurnal American Heart
ini mendapati temuan sebanyak 1,1 % responden yang belum menikah
cenderung mengalami sakit parah akibat gangguan jantung dan hanya
sekitar 0,4 % pasien penyakit jantung yang berasal dari kelompok
berstatus menikah. Dalam perkembangannya, dalam kurun waktu tiga puluh
hari dari prosedur penelitian ditemukan adanya 3,1 % pasien lajang yang
memiliki risiko terkena penyakit kardiovaskular dan hanya 1,2 % yang
terjadi pada pasangan suami istri. Riset dilanjutkan selama 1 tahun, dan
ditemukan peningkatan 13,3 % dari golongan lajang dan 8,2 % pada
golongan menikah yang memiliki kecenderungan terkena gangguan penyakit
jantung.
Selain riset yang diadakan di MedStar
Washington Hospital Center, terdapat riset lain yang mendukung hasil
temuan mengenai fakta menikah dapat membantu menyehatkan kondisi organ
jantung tersebut. Riset yang dilakukan Profesor Psikologi, Kathleen Raja
dan Harry Reis di School of Nursing at University of Rochester
menyatakan bahwa pasien penyakit jantung yang menikah mempunyai
kesempatan hidup 2,5 kali lebih besar dibanding pasien yang belum
menikah.